beAmother
"Okikunatara okasan ni naritai..." kalau besar ingin menjadi ibu. Jawaban anak-anak Jepang seperti itu,rasanya tidak dimiliki oleh anak-anak perempuan diIndonesia.*)
Tidak… tidak betul itu…
Saya anak perempuan Indonesia tulen, sejak kecil walopun cita-cita profesionalku selalu berubah, tapi keinginanku untuk menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku kelak, tidak pernah berubah. Tak bisa kuingat pasti berapa banyak cita-cita masa kecilku dulu. Dimulai dari cita-cita sebagai polwan, sekretaris, pegawai bank, detektif, dokter, mmh apa lagih yah? Sampai cita-cita pingin jadi foto model, artis, penyanyi dan jadi Miss Universe (kalo bagian ini, biasa syndrome idola waktu anak-anak :P) dan akhirnya mentok pingin jadi psikolog, tapi ga kesampaian. Dari sejuta cita-cita itu, ada satu yang tak pernah berubah dan selalu menjadi cita-cita utama, yaitu menjadi ibu yang baik untuk anak-anaku kelak.
Menjadi ibu, ibu yang baik bagi anak-anakku, jika memang 4JJI berkenan untuk mengamanahkan mereka padaku.
Mungkin tak bisa untuk menjadi yang terbaik, tapi setidaknya menjadi ibu yang tepat untuk mereka kelak.
Dulu, definisi menjadi ibu yang baik bagi saya adalah dengan selalu berada di rumah. Sehingga kapanpun mereka membutuhkan Ibunya, maka Ibunya akan selalu siap. Kemudian setelah merasakan ni’matnya ‘bergerak’ dan beraktifitas, maka konsep akan menjadi Ibu seperti apa diriku kelak-pun berubah. Saya ingin menjadi Ibu yang mempunyai mobilitas yang tinggi, beraktifitas diluar rumah setiap saat, sehingga bukan hanya bermanfaat untuk keluarganya tapi juga untuk lingkungannya. Saya ingin mendidik anak saya di ‘lapangan’, menjadikannya mujahid bukan sekedar nasihat dan cerita belaka, tapi langsung turun kejalan, beraktifitas bersama Ibunya.Sekarang? Mmh, kondisional, tergantung apakah saya lebih bermanfaat untuk umat atau amanahnya lebih saya pusatkan dari dalam rumah. Karena dimanapun saya, berada lebih banyak di dalam atau di luar rumah, selama masih berada dalam barisan penyokong da’wah dan tidak masuk kedalam orang-orang yang berdiam diri, maka saya yakin bahwa Allah masih bersama saya.
Untuk bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anaku kelak –jika Allah berkenan menitipkan mereka padaku- maka saya harus banyak belajar
Belajar dari Mamah…
Satu dari sekian banyak didikan Mamah yang masih berbekas adalah,
Beliau mengajarkanku untuk hemat, simple dan mendahulukan yang penting terlebih dahulu. Sejak kecil beliau tidak pernah memberiku uang saku jika tidak ada alasan kenapa aku, untuk apa aku menggunakan uang tersebut. Waktu itu perasaanku bete, ga suka dan sering merasa sangat kesal. Bayangkan, diantara teman-temanku, uang jajanku paling kecil. Malu? Pasti. Bukan karena prestise atau gengsi. Tapi malu karena khawatir mereka menyangka orangtuaku pelit. Ketika saya mengadukannya, orantuaku hanya diam. Mati kutu? Iya dong, serasa ga ada dukungan. Tapi lama-lama terbiasa, sampai akhirnya aku mensukurinya. Karena tanpa kusadari, mereka telah mendidiku untuk bisa menghargai uang dan tetap 'lempeng' dengan anggapan orang. Apapun yang mereka katakan, mereka tak kan pernah tau kondisi kita seperti apa.
Uang jajan kecil ini juga membuatku berlatih untuk mengatur pengeluaran dan juga mengatur emosiku dalam hal pengeluaran. Biasa, akhwat kan umumnya pada suka belanja. Sehingga alhamdulillah, ketika mulai kost pas SMA, saya tidak terlalu kesulitan mengatur uang bekal yang diberikan selama sebulan. Tapi tetap, saya harus super irit. Saking kecilnya uang jajanku pas SMA, sementara keinginanku sebagai anak ABG sangat banyak, maka aku selalu mencari cara untuk bisa mempunyai tambahan penghasilan. Sampai akhirnya aku berjualan jajanan kecil di kelas. Tanya deh sama teman sekelasku pas SMU, pasti mereka masih ingat dengan penganan Gemblong yang kujual. Malah sempat pas waktu masuk kuliah, ada x teman sekelasku selalu bertanya, “La mana gemblongnya?”, setiap kali kami bertemu. Tapi alhamdulillah (juga), karena Mamahku selalu mendidiku untuk menggunakan uang untuk sesuatu yang bermanfaat, sehingga hasil uang jualanpun kuurungkan untuk membeli aksesoris anak ABG yang ga terlalu penting. Sehingga akhirnya dengan seijin Allah, uang tabunganku bisa kupakai untuk bayar les intensif pas kelas 3. Jadi ceritanya, saya dapat kortingan dari pamanku yang bekerja jadi pengajar di bimbel tersebut, sehingga sisanya yang tidak terlalu banyak itu bisa ditutupi dengan uang tabunganku.
Oia teringat tabungan, teringat juga Mamahku. Sejak masuk kelas 1 SD, Mamah membuatkan rekening tabungan untuk setiap anaknya. Setiap kami bertanggung jawab mengisinya, tentu saja dengan bantuan Mamah ke BANKnya, soalnya anak kecil mana bisa buka rekening tabungan sendiri. Jadi, Mamah sudah kongkalingkong sama petugas BANKnya, sehingga kita dapat keistimewaan untuk punya rekening tanpa punya KTP dulu. Tapi, kalo masalah tanggung jawab keberlangsungan sang tabungan adalah tanggung jawab kami masing-masing. Jadi kalo kami ga menabung, maka kosonglah isi tabungan itu. Begitupun tabungan wajib yang ada di SD dan sekolah sore. Isi tabunganku selalu paling kecil diantara semua murid, karena Mamah hanya mengamanahiku uang jajan Rp.500 untuk sekolah pagi dan siang, dengan alokasi penggunaan adalah hak prerogative aku. Artinya kalo saya mau nabung, saya harus mengambil dari uang Rp.500 itu dan mengatur ulang selera jajanku yang cukup besar.
Mamahku juga orang yang simple, ga aneh-aneh. Ga percaya dengan ritual mistis, sehingga bisa dibilang cukup modern untuk ukuran ibu-ibu di kampung kami. Beliau juga memberikan dasar-dasar pemahaman agama yang cukup bagus. Sehingga sebandel apapun saya, Alhamdulillah saya masih cukup terjaga sehingga masih bisa menggapai hidayah yang Allah berikan.
Beliau juga memberikan kepercayaan yang besar bagiku. Menuntut? Tentu, pasti ada suatu tuntutan bagi setiap anaknya. Tapi dengan penjelasan yang rasional dan bertanggung jawab, beliau bisa memahami setiap keputusanku dan memberiku kepercayaan. Mamah juga bukan seorang yang suka memujiku, sebagus apapun prestasi yang kuraih. Di satu sisi hal itu membuatku menjadi pribadi yang tidak pede, tapi disisi lain hal itu bisa membuatku survive, karena saya selalu merasa, I’m ordinary people.
Teringat saat pertama masuk SMA di Bandung. Alhamdulillah, karena I’m ordinary people (tea), maka saya tidak merasa terbebani dengan persaingan yang ada. Begitupun ketika saat bagi Raport dan saya mendapat rangking 12. Xpresiku? Ketawa cekikikan tea. Trus lempeng deh!
Intinya adalah, walo rangking 12, alhamdulillah tak frustasi, sehingga saya bisa bertahan.
Begitupun ketika masuk kampus bersimbol Gajah ini, walaupun persaingan banyak, alhamdulillah saya tidak terbebani dan tidak terlalu stress. Prestasi saya tidak pernah bagus, kisaran nilai juga biasa-biasa saja. Tapi alhamdulillah, orangtuaku tidak pernah membebaniku dengan suatu target. Mereka tau kemampuanku, mereka mengerti dan memberiku kepercayaan, bahwa setiap nilai yang kuperoleh, itulah nilai terbaik yang bisa kudapat. Tampak tidak memberikan motivasi, tapi some how some way, itu membuatku lebih bisa bertahan serta lebih bisa mensyukuri setiap rizki yang Allah berikan.
Satu kalimat untuk Mamahku…
Dia adalah Ibu yang tepat bagiku…
Dan akupun demikian, ingin menjadi ibu yang tepat bagi anak-anaku kelak, tentunya dengan bentuk yang berbeda. Karena masa kami berbeda dan anak kamipun berbeda
Belajar dari Eteh, my oldest sister
Beliau adalah seorang ibu yang mencintai manusia yang tidak sempurna dengan cara yang sempurna (mba vita!!! Status YM nya dipake..:D, nda pa-pa ya?). Eteh adalah orang dengan toleransi yang sangat besar, dia tidak terlalu banyak menuntut terhadap apa yang didapat . Dia selalu mensyukuri apa yang Allah berikan padanya. Dia tidak menuntut berlebihan kepada suaminya, dia juga tidak menuntut berlebihan terhadap anaknya, Nanda dan Childa. Dia seorang Ibu yang menerima dengan lapang pribadi serta karakter dari suami dan anaknya.
Darinya aku belajar untuk menjadi seseorang yang bisa menerima suatu ketidaksempurnaan dan bersyukur atas apa yang Allah berikan.
Belajar dari Teh Ima,
Dari semenjak aku kecil, keluargaku suka mengajak ade-ade sepupu yang masih balita untuk main di rumahku atau berjalan-jalan. Mungkin pengganti ade’ kecil untuku. Teh Ima, kakaku yang nomor dua, beliau adalah orang yang paling dekat dengan anak kecil termasuk ade-ade sepupuku itu. Dia memberikan kepercayaan pada anak-anak, sikapnya yang penyabar dan juga pribadi yang menyenangkan, lucu dan kreatif. Walau harus diakui dia juga galak, tapi tetap saja anak-anak bisa sangat dekat dengannya. Begitupun ketika usaiku masih balita, samar-samar kuingat ketika saat-saat bermain bersama beliau. Kami bermain rumah-rumahan dari pasir, dadagangan (jual-jualan) di kebun belakang rumah, padahal saat itu usianya menginjak masa ABG, tapi dia masih setia menemaniku bermain permainan anak-anak. Begitupun kini, ketika beliau menjadi seorang ibu. Dia tetap menyenangkan dan tetap kreatif. Dia juga memberikan kepercayan kepada anaknya, Phila. Ketika dia melarang anaknya melakukan sesuatu, dia memberikan pengertian dengan cara yang baik, tidak serta-merta dilarang tanpa alasan. Padahal anaknya baru berumur 2 tahun. Dengan komunikasi seperti itu, Phila bisa merasa bahwa dirinya adalah sebuah pribadi yang cukup diperhitungkan. Bukan hanya seorang bayi yang hanya berhak menurut dan merasa takut jika dimarahi. Phila diberikan penanaman kepercayaan diri yang baik yang timbul dari kepercayaan sang Ibu kepada anaknya.
Belajar dari Bunda Khadijah
Belajar menjadi ibu bijaksana yang memberikan tausiah dan taujiah pengobat hati yang luka. Serta memberikan nasihat-nasihat yang berma’na. Penenang dikala gundah dan penghibur dikala susah.
Belajar dari Umahatul Mu’minin Aisyah Radhiyalahu Anha
Tidak ada seorang manusiapun yang terlahir dari rahimnya. Tapi dari lisannya, daya ingatnya dan juga kecerdasannya, beliau mendidik anak manusia dari zaman sahabat hingga sekarang. Beliau menjadi seorang umahat yang merawi’kan banyak hadist. Beliau juga menjadi salah seorang yang dijadikan tempat bertanya jika para sahabat mempunyai masalah saat Rasulullah telah wafat. Beliau menguasai Al-Qur’an, hal-hal yang fardhu, sunnah, syair, riwayat sejarah Arab, ilmu nasab sampai ilmu kedokteran. Beliau adalah guru bagi laki-laki dan wanita.
Darinya aku ingin belajar untuk menjadi seorang Ibu yang cerdas, pendidik para mujahid. Bukan hanya kepada anak yang dilahirkan dari rahimnya, tapi juga untuk seluruh ummat.
Belajar dari sahabiyah Al-Khansa
Beliau adalah seorang Ibu yang memberikan taujih penyemangat jihad untuk anak-anaknya. Beliau adalah ibu yang mengatakan. “Segala puji bagi Allah yang memuliakan diriku dengan syahidnya mereka dan aku berharap kepada Rabb-ku agar Dia mengumpulkan diriku dengan mereka dalam rahmatNya", saat keempat anaknya syahid di medan Jihad.
Darinya aku belajar untuk menjadi ibu yang siap dan mampu mengirimkan jundy-jundiahnya ke medan jihad.
Belajar dari Ummu Imarah
Dia adalah seorang Pahlawan Wanita. Dia bersama suami dan kedua anaknya, maju bertempur di perang Uhud. Beliau menjadi seorang sahabiyah yang dengan gesitnya melindungi Rasulullah dari segala arah.
Semoga bisa jadi sepertinya, menjadi Ibu yang siap dikirimkan ke medan jihad, jika memang tugasku disana. Bukan hanya mendidik dan menjadi penyokong di barisan logistik, tapi maju ke garis depan jika memang mengharuskan.
Belajar dari umahat-umahat di Palestina.
Mereka berlomba untuk melahirkan mujahid. Mereka mendidiknya, menjadikan jundi-jundinya menjadi orang-orang yang pemberani, mujahid pembela Islam. Begitu banyak penderitaan dan kedzaliman yang mereka rasakan, namun itu tak membuat mereka kabur dari Palestine. Mereka bertahan, berjuang dan' menyerahkan' anak-anaknya untuk berjuang membebasakan Al-Aqsa dari cengkraman Yahudi La’natullah. Aku belajar dan melihat sosok nyata mujahidah abad 21 dari mereka. Menjadi seorang Ibu yang menyerahkan segala apa yang dipunya untuk berjuang dijalan Allah. Dari mulai dirinya, hartanya, suami dan anak-anaknya. Tak ada satupun yang tersisa kecuali untuk digunakan berjihad di jalanNya.
Belajar dari Kartini
Seorang wanita priyai yang mempunyai visi jauh kedepan. Pribadi yang haus kebenaran, mencari kalimat-kalimat Tauhid dalam pencariannya yang berkepanjangan. Walaupun pemikirannya saat ini banyak diselewengkan. Bukan kalimat “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang dituliskannya, tapi ““Dari Gelap Menuju Cahaya” (Minazh zhulumati ilan nur).
Belajar Jauh Memandang Kedepan dan tidak pernah lelah dalam mewujudkannya, itulah yang ingin kutiru darinya. Seperti isi suratnya pada Stella tertanggal 13 Januari 1900. Dalam salah satu bagiannya ia menulis, "Kamu mau tahu moto hidupku? ’Aku mau’. Dan dua kata sederhana ini telah membawaku melewati gemunung kesulitan. ’Aku tidak mampu’ menyerah. ’Aku mau!’ mendaki gunung itu. Aku tipe orang yang penuh harapan, penuh semangat. Stella, jagailah selalu api itu! Jangan biarkan dia padam. Buatkan aku selalu bergelora, biarkan aku bersinar, kumohon. Jangan biarkan aku terlepas.
Bukan menjadi Kartini yang didefinisikan 'orang sekarang'. Bukan seorang wanita yang menuntut untuk selalu sama dengan laki-laki. Karena sesungguhnya Kartini sendiripun berkata, "… akan lebih banyak lagi yang dapat saya kerjakan untuk bangsa ini bila di samping saya ada seorang laki-laki yang cakap … lebih banyak kata saya, daripada yang dapat saya usahakan sebagai perempuan yang berdiri sendiri …”.
Belajar dari Mr.Kobayashi
Seorang bapak yang akan ku’curi’ metodenya untuk mendidik anak-anakku kelak. Dia seseorang yang mempengaruhi Toto Chan-murid TK yang dikeluarkan dari sekolahnya- menjadi seorang pribadi yang bersahaja. Mr Kobayashi menerima setiap pribadi yang uniq. Dia memberikan kepercayaan, dia memberikan keyakinan kepada setiap anak bahwa mereka istimewa. Dia juga memberikan pemahaman bahwa setiap pribadi harus saling menghormati. Bukan hanya dengan teori-teori tentang tata susila, tapi dalam sikap, perilaku dan keteladanan yang diberikan. Semua itulah yang ingin kupelajari darinya.
Belajar dari Setiap Umahat Yang kutemui...
Bahwa tak ada Ibu sempurna, bahwa setiap anak berbeda. Maka aku harus belajar dan belajar dari siapapun itu
Bukan sebuah proses belajar yang mudah untuk menggapainya. Aku juga tak akan pernah mencapai kesempurnaan itu.
Tapi aku akan terus belajar dan belajar, untuk bisa menjadi Ibu yang tepat untuk anak-anaku..
Sehingga bisa menghantar mereka menjadi mujahid penyokong dan pejuang da’wah.
Dan Allah berkenan mempertemukan kami ditempat yang terbaik di sisiNya.
*) Anni Iwasaki---> Chair Mother of Anni Iwasaki Foundation