Tuesday, September 21, 2010

[Xenophobia] Menikah

Menjadi ibu adalah cita-cita utama yang senantiasa bertengger dengan manis dalam benakku sedari kecil, meskipun cita-cita sampingan lainnya selalu datang dan pergi. Hingga si Rela kecil inipun mempunyai keinginan untuk menikah muda. Ya, menikah muda . Salah satunya karena berharap bisa menjadi ibu lebih cepat dan juga agar perbedaan usiaku dengan putera-puteriku nanti tidak terlalu jauh.

Usia beranjak, dan cerita tentang kehidupan nyata dalam sebuah pernikahanpun kuketahui. Entah memang orang -orang dewasa itu yang langsung bercerita padaku ataupun mereka menceritakan tentang masalah orang lain, atau cerita yang tak sengaja kudengar. Maklum, mereka menganggapku anak kecil yang tidak akan sebegitu perhatian terhadap obrolan mereka, tapi nyatanya entah kenapa kupingku selalu menangkap apa yang mereka bicarakan. Bukan bermaksud 'nguping' ya, tapi memang terdengar

Dari semua cerita yang menghampiri dan memasuki pendengaranku,hampir semuanya berisi tentang masalah. Dan dari semua masalah yang terungkap, saat itu aku mendapat kesimpulan bahwa 'Laki-laki egois, mau menang sendiri, harus selalu dituruti, dan gak mau mengakui kelebihan istrinya'

Weisssssssssss dahsyat banget ya prasangkanya. Tak bagus memang. tapi entah kenapa kesimpulan itu bertengger di kepalaku. Tak semua laki-laki tentunya, tapi sebagian besar, most of them, specially a Man form Indonesia

Sebenarnya, bagiku tidak masalah untuk ta'at terhadap siapapun selama hal yang harus kutaati itu memang layak untuk dita'ati. Tak masalah juga kalo aku harus mengalah, asal bukan mengalah untuk sesuatu yang prinsip. Yang menjadi masalah adalah, ketika keta'atan itu harus 'saklek', tanpa penjelasan yang rasional, hanya bermodalkan kata 'Istri wajib Ta'at pada suami'. Oh noo, I am not agree . Terkecuali dalam hal yang berhubungan dengan hukum agama ya, maka kuartikan keta'atan kepada suami adalah keta'atan kepada Alloh swt

Memang (kuakui) dari kecil si rela ini tidak bisa kompromi sama anak cowok yang seenaknya, mau menang sendiri, dan semena-mena. Pasti kulawan, walaupun harus sambil menangis . Seriuuusss lho, kalo tanya sama temen SDku, aku paling sering menangis, bahkan dikatakan cengeng . Kenapa? Salah satunya karena tidak mau mengalah tapi sambil air matanya keluar hehe

Nah, prototype bahwa kebanyakan lelaki itu egois, mau menang sendiri dan susah diajak berdisukusi mulai menghantui alam sadar dan bawah sadarku. Sehingga, hal ini mempengaruhi juga keinginan untuk menikah muda itu.

Coba bayangkan ketidak sinkronan ini, ingin menikah tapi takut jika sang pasangan hidup adalah lelaki yang egois dan tidak rasional, hanya mengedepankan 'kelelakiannya' saja.

Gak nyambung kan?

Mungkin akan timbul pernyataan ini, 'Pilihlah lelaki yang tidak egois, kenali dia baik-baik'.

Seberapa jauhkah kita bisa mengenal calon kita?
Berdasarkan hasil pengamatan, seberapa lamapun seseorang itu berkenalan atau berpacaran dengan calonnya, maka masa pacaran itu tidak bisa memberikan jaminan bahwa si calon sudah dikenal seutuhnya. Banyak hal -hal yang tidak terduga yang baru diketahui pasangannya setelah menikah.

Selain itu, ketika saatnya usiaku memasuki tahap pantas menikah, alhamdulillah Alloh memberikan pemahaman, bahwa pengenalan pada suami yang intensif adalah setelah akad terucap. Dalam pemahamanku, bahwa islam tidak mengenal pacaran sebelum menikah.

Kefahaman tentang tidak adanya pacaran itu juga makin menguatkan keinginanku untuk menikah muda. Karena jujur, sebagai manusia biasa sering terlintas 'iri' dalam benakku ketika melihat seseorang berpacaran. Iri karena ingin juga bisa berjalan bersama dengan seseorang, bergandengan tangan, menceritakan kisah hari-harinya kepada pasangannya, namun tentu saja dengan seseorang yang sudah halal di hadapan Alloh swt.

Namun sekali lagi, ketakutan tentang lelaki asing, seseorang nan egois masih bertengger setia dalam benaku. Jadi, meskipun keinginan menikah itu ada, namun tidak pernah terungkap, tidak pernah diusahakan, dan tidak terealisasi tentu saja. Karena diriku masih takut akan sosok lelaki asing nan egois.

Hingga ketika ada lelaki yang baik berniat baik terhadapku, wajahku memucat, berkerut dan hari-hariku menjadi muram. Ya muram, sahabatku tau tentang itu. Muram karena aku merasa bingung. Dia lelaki yang baik, tidak ada alasan untuk berkata tidak, namun hatiku dihinggapi rasa tak tenang yang begitu dalam. Hingga sahabatkupun berkata,
"Pasangan itu seperti puzzle, yang akan saling mengisi satu sama lain. Tak mestilah puzzle yang bagus yang pas dengan puzzle kita"




No comments: