Saturday, February 26, 2005

Rokok Kijang Hijau

Suatu malam dalam angkot (aduu ketauan !!! pulang malem), abis lembur untuk ngejar kerjaan segudang. Hampir tiap malam dalam minggu ini pulang lebih dari jam 7 . Alhamdulillah malam ini ada mamah dan apa di margahayu, jadi pulangnya bisa ke sana. Lumayan lebih save dan dekat dibanding harus ke rumah teteh. Malam itu, rela keluar dari kampus dan naik angkot sekitar jam 8.
Semuanya biasa saja, sampai akhirnya angkot nge-tem di depan gedung annex, balubur. Disana naik seorang laki-laki dengan tampang lumayan serem dengan celana jin sobek dimana-mana serta rambut kusutnya. Tiba-tiba ketika sampai disekitar jalan diponegoro, laki-laki itu berkata,
“ Maaf saya boleh merokok?”,
Tepatnya rela lupa lagi, tapi intinya seperti itu. Refleks dong rela bilang,
“Maaf, kalo bisa jangan!”,
Kata itu rela ucapkan berulang kali, karena dia tampaknya kurang bisa menyimak apa yang rela katakan. Kemudian rela berkata lagi,
“Maaf ya!” (bayangkan muka orang yang meminta maaf tentang hal sepele pada sahabat atau teman karib!)
Tiba-tiba raut mukanya berubah, deg jantungku berdegup keras. Dari sana tiba-tiba ada perasaan takut. Aduh kumaha kalo dianya marah dan berlaku yang mengerikan.
Ketika naik angkot, rela sedang membaca Al-Ma’tsurat (kebiasaan, soalnya kalo di rumah suka terkantuk kantuk …maluuu), sehingga mulutnya nampak komat-kamit (ii ngeri emang dukun). Tapi sejak kejadian itu, rela lafadzkan Al-Ma’tsurat dalam hati saja, khawatir kalo nampak komat-kamit ntar orang nyangkanya rela baca jimat-jimat dan penolak bala karena takut sama dia, ato dianya nyangka rela macem-macem.
Alhamdulillah, sampai rela turun di pertigaan supratman, semua baik-baik saja.

Kejadian ini membuat saya malu. Malu karena telah bersu’uzhon pada laki-laki itu. Padahal kalo diperhatikan, dia (mungkin) lebih baik dari seorang laki-laki perlente. Setidaknya dia meminta ijin untuk merokok, dia memperhitungkan bahwa ada hak orang lain yang terdzalimi jika dia merokok. Padahal banyak orang lain yang berpenampilan necis, jangankan untuk minta ijin, melihat kita batuk-batuk karena asap rokok, dianya lempeng saja. Apalagih kalo ingat fikiran rela yang nyangka dia bakalan menganiaya. Rasanya maluu banget, kayaknya ga mungkin dia berfikir buruk seperti itu, menganiaya-kan perbuatan yang membahayakan orang lain , wong mo merokok(melakukan perbuatan yang berkaitan dengan hak orang lain) ajah minta ijin .
Malu yang kedua karena, rela ga pernah meminta hak, tapi menuntut orang lain sadar dengan hak yang harus saya terima. Spesifiknya dalam hal rokok. Kalo diangkot ato mobil umum lainnya, ga pernah meminta orang yang merokok untuk mematikan rokoknya (meminta hak saya). Yang ada malah saya batuk-batuk atau tutup hidung dan berharap yang merokok akan terusik, ngeh dan kemudian mematikan rokoknya. Teringat salah satu bagian dari buku Pagi ini Aku Cantik Sekali, mirip ceritanya, yaitu di sekitar rokok. Cuma bedanya beliau mengakhiri ceritanya dengan komitmen bahwa dia akan menuntut haknya -untuk bisa bebas bernafas dengan bebas tanpa asap rokok- dengan cara bilang ke orang yang merokok langsung. Sementara kalo saya, mmh mikir dulu..berani ga ya buat ngomong
Tampaknya cerita ini tak memberikan sebuah kesimpulan akhir yang membahagiakan, karena toh saya “Sang Tokoh” tidak lantas berubah dan mau menuntut haknya.
Tapi hikmah tettep ada, bahwa “Don’t judge the book by the cover-nya” teh bener…
Harus berusaha lebih keras lagih untuk menghilangkan prasangka-prasangka jelek dari dalam otak…
Sucikan hati dan fikiran lah intina mah!


Malam menegangkan -> Information Exchange Meeting 2005

No comments: