Tuesday, March 29, 2005

Tamasya ke Leuwi Gajah

Jam menunjukan sekitar jam 9-an lebih ketika angkot yang kami tumpangi mulai masuk ke jalan yang cukup “garijlug” dan menanjak. Heran, kenapa banyak sekali orang yang dating, dengan pakaian tamasya. Penduduk sekitar gitu? Ah tak mungkin kayaknya. Masker pun sudah mulai kusiapkan, mungkin bau menyengat itu akan segera hadir. Tapi , ups oia maskerku kutitipkan pada seorang teman di angkot yang berbeda. Akhirnya kami sampai ke bagian gundukan sampah, ya ga terlalu tinggi seeh. Tapi mirisnya ada beberapa rumah huni disekitar sampah tersebut.
Tak lama angkotpun berhenti dan kamipun turun. Singkat cerita kami berjalan berkelompok, dengan tiap kelompok beranggotakan 5 orang. Jalanan yang dilalui? Berat, lumayan berat buat “orang kota” kayak kami. Kami melewati petakan-petakan sawah. Beberapa orang diantaranya,… gudubrak! Jatuh keselokan. Dan bukan hanya sekali, tapi beberapa kali dan beberapa orang. Tiba-tiba da pemandangan menarik, tidak jauh dari tempat kami berjalan, ada tukang balon dengan membawa “segudang” balon. Pikirku, mmh ngapain tukang balon ke tempat musibah? Dan memang disepanjang jalan itu, kami juga bertemu dengan beberapa rombongan berpakain necis mirip orang yang mo tamasya. Tapi, ah sudahlah tak kufikirkan saaat itu. Mungkin dia memang penduduk sekitar yang sudah bepergian dari kota dan hendak pulang ke rumahnya.
Sampailah kami ke perkampungan, di sepanjang jalan itu, tampak beberapa rumah yang kosong tanpa penghuni. Tampaknya ditinggalkan pemiliknya untuk mengungsi. Ketika kami agak naik ke atas, ke jalan yang lumayan besar . Astagfirullah al’adzim, saya kaget lagih. Banyak pedagang makanan(jajanan), penjual mainan anak dan juga orang-orang yang berpakaian wisata. Bukankah ini tempat musibah? Kenapa berubah jadi taman bermain begini?
Perjalanan dilanjutkan ke posko balai pengobatan dan basecamp-nya relawan, yang berhadapan dengan mushala kecil, tempat memandikan dan mengkafani mayat. Tampak rumah disekitar posko itupun sepi tanpa penghuni. Sesampainya disana, kami bertemu dengan beberapa Teteh relawan. Sambil beristirahat melepas lelah, kamipun berbincang-bincang dengan Teteh-teteh relawan tersebut. Subhanallah, pada hari kedua-karena saking banyaknya mayat yang ditemukan- merekapun memandikan mayat. Menurutku itu sangat berat. Kebayang kalo rela yang “ditodong” untuk mengurus mayat. Wuaa tak terbayang. Jadi tergugah untuk kembali membuka buku dan mencoba mempraktekan bagaimana mengurus mayat. Soalnya lupa lagi…
Sebenarnya tak banyak yang bisa kami lakukan, karena ternyata, tim kepanduan kabupaten telah memanagement semuanya dengan baik. Tapi, agar kami bisa lebih “bekerja’ dan “ berlatih” agar terbiasa di tempat musibah, kamipun diberi tugas untuk berjalan keliling kampong, memberitahukan bahwa ada POS Kesehatan atau balai pengobatan yang dibuka setiap harinya dari jam 9 sampai jam 5. Maka kamipun berkeliling per 2 regu. Reguku mendapatkan amanha untuk memberikan pengumuman ke daerah atas. Huah!!! Subhanallah , Allahu Akbar! Medan yang kami lalui cukup berat, karena semalam hujan, jadi tanahpun becek dan licin. Jadi harus super hati-hati. Dan, sama seperti sebelumnya, sepanjang jalan kami bertemu dengan para “turis” yang ingin menyaksikan lokasi musibah. Ternyata memang benar, bahwa orang-orang yang kutemui dari sejak awal memasuki daerah ini adalah “turis”. Mmh jadi miris, kebayang kalo kita yang kena musibah. Terus dating orang berduyun-duyun untuk “menonton” dan “menyaksikan” musibah yang kita alami. Perih bukan? Ya wallahu’alam apa tujuan mereka, semoga memang sebelum mereka “menyempatkan” diri untuk bertamasya, mereka tak lupa untuk menyisihkan apa yang mereka punya untuk membantu para korban.
Cerita berlanjut, ternyata kami hanya bisa memberitahukan ke beberapa rumah saja. Ya kurang dari sepuluh–lah. Karena kami berpapasan dengan regu lain. Daripada overlaving, ya udah kami cari daerah lain. Oia lupa ngasi tau, kalo kami “gelap” sama sekali dengan daerahnya. Bahkan tiga orang ikhwan yang jadi ‘penjaga’ pun bukan berasal dari tim kabupaten, tapi tim kota. Jadinya kami nyasar-nyasar (nebak-nebak jalan) untuk mencari rute. Singkat cerita, kami mendekati perkampungan yang terletak dipinggir jalan besar yang bisa dilalui mobil. Difikir-fikir, ngapain ngasi tau ke mereka ada balai pengobatan di puncak bukit, padahal lebih mudah bagi mereka naik ojeg dan berobat ke kota. Ya sudah kami putuskan untuk mengambil jalur lain. Disepanjang jalan kami bertemu dengan para turis yang dengan baik hati memberitahukan rute yang mana yang bisa dilalui agar bisa melihat lokasi bencana dengan baik. Kami hanya tersenyum dan balik bertanya, mmh ada rumah ga di daerah yang bapak lewati? Soalnya target kami adalah rumah berpenghuni. Jawabannya bermacam-macam, ada yang bilang ada, ada yang bilang ngga, bingung jadinya. Sampai ada seorang ibu-ibu yang bilang,”Ada neng rumah, ya melewati dua gunung”. Subhanallah, dua gunung! Mmh bukit kali ya bukan gunung. Yang ada kami hanya tertawa, ya dua gunung ya? Akhirnya tim memutuskan, tak ada salahnya kita coba untuk menaiki ‘dua gunung’ dan mencari rumah penduduk. Toh waktu yang diberikan masih lama, dan rasanya malu kalo harus kembali ke POS dan tidak bisa berbuat banyak.
Petualanganpun dimulai. Medan sama beratnya seperti sebelumnya. Saking licinnya, sampai-sampai kami punya sepatu baru berwarna coklat (banyaknya lumpur yang nebeng di sepatu). Selama perjalanan kami tetap bertemu dengan beberapa turis. Sampai akhirnya tiba di puncak bukit dimana dari sana kami bisa melihat daerah bencana dengan sangat jelas. Miris rasanya, ingin menangis. Tumpukan hitam berupa sampah yang sudah sangat busuk menutupi rumah-rumah yang sudah tak terlihat lagih. Ada beberapa alat berat diatasnya untuk mengorek-ngorek sampah. Ah, tak terbayang kesabaran para tim SAR, diantara tumpukan sampah itu harus mencari jutaan korban yang tertimbun, yang dipastikan telah berubah menjadi mayat, sehingga menambah bau busuk yang tercium. Selama perjalanan sampai keatas bukit, tak satupun rumah yang berpenghuni kami temukan. Akhirnya, kami harus turun dengan beberapa alternative. Sang ‘penjaga’-pun mulai mencoba jalan alternatif terlebih dahulu, mana yang lebih aman dilalui oleh kami, akhawat’er (lucu rasanya, kayak anak kecil :D, tapi subhanallah mereka menjaga dengan hijab yang baik). Setelah mereka menemukan rute terbaik, akhirnya kami turun. Alhamdulillah, walaupun misi utama kami- mencari rumah penduduk berpenghuni- gagal, setidaknya kami dapat bermanfaat untuk membantu para turis melewati jalan yang licin. Baju kami-kan sudah baju lapangan, jadi tak mengapa jika kotor dan bau leutak.
Sampailah kami kembali ke POS, teuteup, kami kelompok petama yang nyampe. Padahal itu the udah ‘jalan-jalan’ ke atas bukit. Akhirnya kami menunggu kelompok lain dengan duduk-dudk santai. Ga enak seeh, solanya bapak-bapak yang lain pada kerja, abis mo ngapain coba? Kita-kan nurut apa kata mas’ul, kalo dikasih tugas lain Insya4JJ1 siap. 4JJ1 Akbar! :D
Selama menunggu kelompok yang lain, ada beberapa mayat yang berdatangan. Mayat pertama dan kedua, tak terlalu menyengat. Ketika dating mayat ketiga, MasyaAllah, perutku langsung mual, sehingga secara refleks langsung lari menjauh. Astagfirullah’al adzim. Bayangkan, keadaan aceh yang lebih parah. Jika saya berada disana? Entahlah mungkin tak kan kuat bahkan mendzalimi yang lainnya.

Subhanallah para pejuang itu, para relawan itu. Saya, kecil sangat kecil.
Tapi Insya4JJI niatku tak-kan surut untuk datang ke daerah bencana. Tetap ber-azzam untuk melatih jiwa dan fisik yang manja ini agar siap bantu sesama. Untuk membantu yang tertimpa musibah. Untuk menebar sedikit kasih sayang yang telah 4JJ1 berikan.
Allahu'alam bi shawab...
Akhirnya waktu beranjak petang, saatnya untuk pulang. Sepanjang jalan banyak pos relawan lain yang dilalui. Selamat berjuang ya saudaraku!
sejuta hikmah dan cinta kuraih disini...
semoga 4JJI membalas pengorbanan dan perjuangan mereka dengan yang lebih baik...
serta menerima arwah para korban ditempat yang terbaik...
amiin...

Kini sebulan lebih tlah berlalu dan saya tlah melupakannya. Saya tidak tau dengan kabar Leuwi Gajah. Ketika kembali ke rutinitas, semua masalah disekitar seakan tertelan, lenyap. Astagfirullah Al'adziim...
Dan bencana ini bukan hanya untuk saudaraku di leuwi gajah, tapi seluruh bandung juga. Karena sejak hari itu, sampah semakin menumpuk dimana-mana menyebar 1001 penyakit. Yah (mungkin) agar warga Bandung pun ikut merasakan, jangan hanya mau buang sampahnya sajah dan lepas tangan, ga mau tau soal pengolahan dan lainnya. Karena ternyata terasa sendiri, jika daerah pembuangannya tertimpa bencana, maka kita -warga bandung- juga yang ikut merasakannya... 4JJI'alam bi Shawab..
semoga bisa mengambil 1001 pelajaran dari sini...

---jiwa kerdil yang mencoba untuk lebih dewasa dan melatih fisiknya agar tak terbiasa manja--

1 comment:

Anonymous said...

Very nice site! » »